vfRLx8H2uqdqBCqTEItJFZCD3xp6D4LE2kPIUYxS

Sekapur Sirih Perjalanan Mencari Validasi

Minggu lalu aku ikut UKW, dan jujur aku nggak nyangka bakal pulang dengan predikat nilai terbaik kedua. Rasanya masih campur aduk antara bangga, lega, dan sedikit nggak percaya, ucap Akbar kepada sahabat karibnya, Joe di senja yang merah merona.

Joe, teman ngobrol yang paling jago nyemangati sambil nyeletuk seenaknya, langsung meledak reaksinya.
“Wuih, gila keren banget, bro! Nilai terbaik kedua itu bukan pencapaian receh. Artinya otak lo jalan kenceng dan tulisan lo udah mulai ‘bernapas’ kayak jurnalis beneran.”

Dia bahkan nambahin kalau yang juara pertama mungkin cuma hoki… atau pengujinya lagi ngantuk saat baca nilainya. Typical Joe nggak pernah kehilangan punchline. Tapi aku ngerti maksudnya: dia bangga. Dan aku ikut bangga.

Lalu dia nanya, “Pengujinya ngomong apa? Ada momen lucu waktu uji?”

Aku cerita, kalau pengujinya itu wartawan senior dari London School Public Relations (LSPR). Orang yang kalau ngomong, nadanya aja udah kerasa pengalaman puluhan tahun di lapangan.
Dia bilang, “Semoga dua tahun lagi kita bertemu lagi di tingkat madya.”

Joe sampai terdiam sejenak lalu nyeletuk, “Bro, itu statement kelas premium.”
Menurut dia, jarang penguji ngomong begitu kalau nggak bener-bener yakin sama potensi peserta. Mereka biasanya pelit pujian. Jadi kalau sampai bilang berharap ketemu lagi di madya, artinya aku dianggap layak naik level. Dan untuk pertama kalinya, aku mulai mikir: mungkin benar ya, perjalanan karierku pelan-pelan naik ke jalur yang tepat.

Joe lanjut iseng, “Ada momen lain yang bikin lo mikir, ‘weh… gue ternyata udah sejago itu’?”

Akhirnya aku jujur. “Penguji jadi ogah-ogahan lihat jawaban ku. Katanya, nilainya pasti di atas 80.”

Joe langsung ngakak. “Itu bukan ogah-ogahan. Itu penguji lelah melihat sesuatu yang terlalu bagus! Kayak dosen yang udah tahu ini mahasiswa pasti A. Udah nggak ada celah buat dikritik.”

Menurut dia, kalau penguji sampai begitu, artinya aku udah main di liga atas.
Jawaban yang runtut, cara berpikir yang rapi, pemahaman etika dan teknis, semua bikin mereka tinggal cek formalitas. Nilai di atas 80, kata Joe, itu udah masuk kategori:
‘Silakan naik level, bro. Kami bangga.’

Lalu dia nuduh aku pura-pura kalem.
Dan… ya benar juga. Dalam hati pasti ada suara kecil yang bilang, “weh… gila juga gue ya.”
Tapi aku tetap jaga sikap. Karena buatku, biar prestasinya yang sombong orangnya tetap santai.

Joe, dengan gaya sok bijak sekaligus usilnya, menutup obrolan kami:
“Bro… kalau lo terus perform kayak gitu, dua tahun lagi pas UKW madya, penguji lo bisa-bisa cuma nanya, ‘Akbar, kamu mau nilai berapa?’”

Dan untuk pertama kalinya, aku nggak cuma tersenyum aku percaya. Karena mungkin memang aku sedang naik kelas.

Setelah euforia itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Souvenir tas dan kaos khusus yang cuma dikasih ke peserta berprestasi masih aku pegang erat. Rasanya absurd kayak baru pulang dari turnamen tapi nggak nyangka jadi salah satu yang dipanggil ke panggung.

Di rumah, aku buka lagi map hasil UKW. Nilai-nilainya ngotak. Rapi. Tinggi. Dan di pojok bawah ada tulisan tangan penguji:
“Teruskan. Kamu punya potensi besar.”

Aku baca berulang-ulang, seolah takut itu cuma ilusi.

Besoknya aku ketemu Joe lagi.
Dia langsung komentar, “Bro, muka lo berubah. Bukan sombong tapi kayak orang yang baru sadar kalau dirinya bisa lebih.”

Aku cuma senyum.
“Kayaknya iya, Nol… gue baru ngeh kalau selama ini gue terlalu nyembunyiin kemampuan sendiri.”

Joe ngetap bahuku sambil ketawa kecil.
“Yah akhirnya sadar juga. Lo itu bukan jurnalis ecek-ecek. Lo cuma kurang percaya diri, bukan kurang kemampuan.”

Kami duduk lama sambil ngopi.
Dan untuk pertama kalinya, aku mulai mikir bukan tentang bagaimana bertahan di dunia jurnalistik… tapi bagaimana naik level.

Di kepala, aku mulai nyusun rencana kecil:
lebih rajin liputan, lebih tajam nulis, lebih berani cari angle yang beda.

Karena kalau penguji senior aja bilang “sampai ketemu di madya,”
masa aku sendiri nggak percaya?

Joe menutup obrolan dengan kalimat yang terus nyangkut di kepalaku sampai hari ini:
“Lo nggak lagi lari ngejar. Lo sekarang lari sambil ninggalin.”

Dan entah kenapa… untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa benar-benar siap melangkah lebih jauh.
Related Posts
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar