Di jantung hutan lebat yang menyelimuti wilayah pegunungan Sekala Brak, berdirilah sebuah pohon yang tidak seperti pohon lainnya. Tinggi menjulang, daunnya rimbun berwarna kehijauan pekat, dan kulit kayunya mengeluarkan aroma khas yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Pohon itu bernama Belasa Kepampang.
Bagi masyarakat Tumi, penghuni asli Sekala Brak, Belasa Kepampang bukan sekadar pohon. Ia adalah warisan leluhur, penjaga keseimbangan alam, simbol dualitas kehidupan, dan penentu nasib. Dari generasi ke generasi, kisah tentang pohon ini diceritakan dalam petang sunyi di rumah-rumah panggung, dibisikkan dalam doa-doa kepada arwah nenek moyang, dan dijaga dalam ritual-ritual sakral.
Konon, pada zaman dahulu, bumi Sekala Brak sering dilanda kekeringan panjang. Sungai-sungai mengering, tanaman tak lagi berbuah, dan hewan-hewan bermigrasi meninggalkan tanah itu. Rakyat Tumi memohon kepada para puyang, pemimpin spiritual kerajaan, untuk mencari jalan keselamatan.
Dalam sebuah petunjuk gaib yang datang dalam mimpi kepada Puyang Ratu Alam, dikisahkan akan muncul sebuah pohon yang memiliki dua cabang: satu cabang mengandung racun, satu cabang mengandung penawar. Maka sang puyang memimpin ekspedisi spiritual ke puncak Bukit Pesagi, tempat bertemunya dua mata angin, dan di sanalah mereka menemukan pohon itu. Mereka menamainya Belasa Kepampang.
Pohon ini unik: satu cabangnya berbuah nangka, namun mengeluarkan getah jernih yang menyembuhkan; satu cabangnya berdaun sebukau, tumbuhan hutan yang dikenal beracun, dan getahnya bisa menyebabkan penyakit kulit yang parah. Namun, anehnya, kedua cabang itu tumbuh dari batang yang sama.
Getah dari cabang sebukau dipercaya mampu menimbulkan rasa gatal, melepuh, bahkan luka membusuk apabila disentuh tanpa perlindungan. Tidak ada obat bagi yang terkena, kecuali satu: getah dari cabang nangka yang ada di pohon yang sama.
Legenda menyebutkan bahwa pohon ini adalah jelmaan dari dua bersaudara kembar, Batang Nangka dan Batang Sebukau. Keduanya bertarung karena perbedaan prinsip: satu ingin menyelamatkan alam, satu ingin menguasainya. Para dewa, murka dengan pertikaian mereka, menyatukan mereka dalam satu pohon agar mereka belajar arti keseimbangan.
Seiring waktu, pohon ini menjadi tempat ziarah. Para tabib, dukun, dan puyang dari berbagai penjuru tanah Lampung datang untuk mengambil getah cabang nangka dalam ritual penyembuhan. Tapi tak semua bisa mengambilnya. Diperlukan ritual khusus, puasa tiga hari, pembacaan mantera tua, dan sesajen berupa sirih, pinang, dan sebutir telur ayam hutan.
Banyak yang mencoba mengambil tanpa izin. Konon, mereka tidak pernah kembali. Terkadang, warga sekitar mendengar jeritan dari hutan pada malam hari. Beberapa orang yang kembali dalam keadaan linglung mengatakan mereka melihat bayangan dua sosok manusia setengah pohon, menangis dalam diam.
Kepercayaan kepada Belasa Kepampang tidak berhenti di Kerajaan Sekala Brak. Saat perdagangan dan migrasi membawa orang-orang Lampung ke hilir sungai, cerita tentang pohon ini ikut mengalir. Warga di sepanjang Way Komering, Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulangbawang, Way Umpu, Way Rarem, dan Way Besai juga mulai mengakui kekuatan pohon ini.
Di beberapa tempat, muncul replika dari pohon ini. Ada yang menanam pohon sebukau dan nangka berdampingan sebagai simbol kesatuan. Ada pula yang menjadikan kisah Belasa Kepampang sebagai bagian dari upacara adat penyambutan tamu kehormatan atau penyembuhan anak yang sakit keras.
Setiap tahun, pada bulan purnama pertama musim hujan, masyarakat Tumi mengadakan Upacara Satu Batang Dua Getah. Dalam upacara ini, anak-anak muda akan menari mengelilingi pohon, memainkan musik gambus tua dan gong besar, sementara para tetua membaca mantra dan doa perlindungan. Getah dari cabang nangka diambil secukupnya dan disimpan dalam kendi emas sebagai cadangan pengobatan kerajaan.
Demikianlah kisah tentang Belasa Kepampang, pohon suci yang menyatukan racun dan obat dalam satu batang, dalam satu tanah, dalam satu jiwa. Tanah Tumi menjaganya, rakyat Lampung memujanya, dan sejarah mengabadikannya.
---
Catatan: Ini adalah kisah fiksi sejarah yang terinspirasi dari kearifan lokal Lampung, Segala nama, peristiwa, dan tempat merupakan hasil rekaan untuk kepentingan sastra dan pelestarian budaya.