vfRLx8H2uqdqBCqTEItJFZCD3xp6D4LE2kPIUYxS

Legenda Pohon Ara Sekala Bekhak


Pada zaman dahulu kala, di tengah-tengah hutan lebat yang menjadi jantung Kerajaan Sekala Bekhak, berdirilah sebuah pohon Ara yang begitu besar dan tinggi hingga ujung daunnya menggores langit. Pohon itu begitu tua, lebih tua dari kerajaan itu sendiri, dan telah lama menjadi bagian dari mitos dan cerita rakyat yang dituturkan turun-temurun.

Namun, tidak ada yang berani mendekatinya. Bukan hanya karena akarnya yang menjerat tanah seperti naga tidur atau batangnya yang sebesar menara batu, tetapi karena di pucuk pohon itu hidup sepasang burung elang raksasa. Elang itu memiliki sayap selebar perahu, paruh tajam seperti tombak, dan cakar yang mampu mencabik kerbau dalam satu hentakan. Penduduk menyebut mereka "Inyak Pahiwang" elang langit yang murka. Tak terhitung hewan dan manusia yang hilang setelah mencoba masuk ke wilayah pohon Ara itu.

Raja Sekala Bekhak saat itu, Raja Umpu Serunting, seorang pemimpin bijak dan gagah berani, telah lama memikirkan nasib rakyatnya yang hidup dalam ketakutan. Suatu malam, ketika rembulan merah menggantung di langit, ia bermimpi didatangi arwah leluhur yang berkata, "Tebanglah pohon Ara, dan lepaskan tanahmu dari bayangan sayap kematian."

Keesokan harinya, Raja mengumpulkan para lelaki pilihan dari sembilan penjuru kerajaan. Mereka adalah:

1. Puyang Lunik, orang tua sakti yang memahami bahasa alam.
2. Si Sangkan, pemburu ulung yang dapat melihat dalam gelap.
3. Si Pandan, pendekar dari dataran rendah.
4. Si Kandang, ahli perangkap dan jebakan.
5. Si Jalang, pelari tercepat yang pernah dikenal.
6. Si Badak, bertubuh besar dan kuat seperti gajah.
7. Si Midin, pandai besi yang menaklukkan logam.
8. Si Nima, penjaga pusaka kerajaan.
9. Si Pakku, petapa yang menguasai mantera pengusir makhluk halus.

Mereka semua dipanggil menghadap raja. Dengan suara berat, raja berkata, "Pohon Ara itu harus tumbang. Rakyat tidak bisa hidup dalam ketakutan selamanya. Aku titipkan harapan pada kalian sembilan orang."

Para utusan itu pun bersiap. Mereka membawa alat-alat terbaik, mantera, dan doa-doa pelindung. Perjalanan menuju pohon Ara memakan waktu tiga hari tiga malam. Mereka harus melewati hutan larangan, rawa berkabut, dan lembah sunyi yang tak terjamah manusia.

Sesampainya di bawah pohon Ara, langit mendadak mendung. Angin berdesir seperti bisikan arwah. Pohon itu begitu besar, sampai-sampai bayangannya menutupi seluruh bukit. Elang raksasa mengeluarkan suara menggelegar dari atas, tanda mereka tahu para manusia itu datang.

Hari pertama, mereka mulai menebang dengan kapak pusaka. Suara logam menghantam kayu menimbulkan gema yang aneh. Pada malam harinya, Si Jalang disambar elang saat mengambil air di sungai. Ia tak ditemukan lagi. Hari kedua, Si Kandang yang memasang jebakan untuk elang, justru terjebak dalam ciptaannya sendiri dan digulung akar hidup pohon Ara. Hari ketiga, elang turun menyerang; dalam pertarungan itu, Si Badak dan Si Pandan tewas setelah melawan gagah berani. Si Midin terbakar oleh petir yang menyambar besi di tubuhnya.

Si Nima, yang membawa pusaka, mencoba membacakan doa pelindung, namun pusaka itu pecah oleh jeritan elang betina yang melengking. Ia pun tewas dengan mata terbuka. Si Pakku, meskipun berilmu tinggi, kewalahan menghadapi makhluk yang separuh nyata dan separuh gaib itu. Ia menghilang ditelan kabut dari akar pohon.

Akhirnya hanya tersisa Puyang Lunik dan Si Sangkan. Mereka bertarung hingga malam ketujuh. Dalam kelelahan dan luka, mereka menyatukan ilmu dan kekuatan. Puyang Lunik memanggil roh hutan, sementara Si Sangkan memanah tepat ke mata elang jantan. Setelah elang terakhir jatuh dari langit, pohon Ara mengeluarkan suara tangisan, dan batangnya mulai retak. Dengan pukulan terakhir, pohon itu pun tumbang, mengguncang tanah dari Sekala Bekhak hingga Teluk Semaka.

Ajaibnya, pangkal pohon jatuh tetap di Sekala Bekhak, tapi ujungnya melintang jauh ke arah Teluk Semaka, seolah menunjukkan kekuasaan pohon itu melintasi wilayah.

Dari galih pohon Ara yang maha besar itu, Raja memerintahkan dibuat kekuhan. Kekuhan itu menjadi simbol keberanian, pengorbanan, dan awal baru bagi kerajaan.

Hanya dua yang kembali: Puyang Lunik dan Si Sangkan. Mereka tidak berbicara banyak. Mata mereka menyimpan duka dari kawan-kawan yang gugur, tapi juga kebanggaan karena tanah mereka kini bebas dari bayang-bayang elang.

Kerajaan Sekala Bekhak hidup damai setelahnya. Namun, setiap tahun, rakyat mengadakan upacara di bawah kekuhan, mempersembahkan doa dan cerita tentang sembilan pemberani yang mengubah nasib negeri.

Dan sampai kini, ketika angin bertiup kencang dari arah Teluk Semaka, terdengar bisikan dedaunan seakan pohon Ara masih bernafas dalam kenangan rakyat Sekala Bekhak.(*)
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar