Pernah dengar istilah pepadun, peppadun, pepadon, atau pupadon? Apapun penyebutannya, semuanya merujuk pada satu hal: singgasana kebesaran. Bukan sembarang kursi, tapi ini adalah lambang kekuasaan para raja, datu, suttan, pun, sampai ratu di tiap wilayah adat di Lampung. Warisan turun-temurun ini melewati garis ayah (patrilineal) dan dipercaya sudah ada sejak zaman batu—jauh sebelum masuknya Islam dan penjajah ke tanah Lampung.
Dulu, setiap kampung cuma punya satu pepadun. Artinya? Cuma ada satu pemimpin utama di sana. Tapi semuanya berubah ketika pengaruh luar mulai masuk, terutama dari Banten. Meski Banten bukan pembawa Islam pertama di Lampung, mereka ikut memengaruhi sistem kepemimpinan di sini. Dari yang awalnya eksklusif turun-temurun, berubah jadi lebih terbuka. Siapa pun yang punya kedudukan ekonomi kuat bisa ikut memiliki pepadun. Ini dianggap sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan dari Kesultanan Banten kepada tokoh-tokoh adat Lampung.
Sayangnya, saat Belanda datang, mereka melihat celah di sini. Politik adu domba pun dimainkan. Mereka pecah-belah kekuatan lokal dengan membiarkan banyak pepadun bermunculan, demi melemahkan solidaritas adat Lampung.
Tapi bukan hanya soal kekuasaan, pepadun juga bagian dari budaya megah. Untuk bisa naik tahta, seseorang harus menyelenggarakan ritual besar yang makan waktu, tenaga, dan biaya luar biasa. Ada pesta adat, festival, bahkan pengorbanan kerbau. Inilah kenapa pepadun jadi pusat dari tradisi adat terbesar di Lampung.
Kalau kamu perhatikan, di bagian sandaran pepadun—yang disebut sesako atau sasako—terpahat motif-motif seperti manusia, makara, naga, gajah, dan makhluk simbolis lainnya. Ini bukti bahwa budaya pepadun berasal dari masa pra-Islam, atau setidaknya dari era klasik awal Sumatera. Motif manusia biasanya melambangkan arwah leluhur yang menjaga singgasana. Sementara naga, menggambarkan kebijaksanaan dan kepemimpinan pemilik tahta.
Yang menarik lagi, bentuk pepadun mirip dengan tempat duduk arca-arca raja dan ratu di masa Mataram kuno. Tradisi ini masih hidup sampai sekarang lewat upacara adat bernama cakak pepadun—ritual naik tahta bagi mereka yang mewarisi gelar dan tanggung jawab adat.
---