Kita berdiri di sebuah persimpangan krusial peradaban, tempat kecerdasan buatan (AI) bertransformasi dari sekadar alat menjadi kekuatan pembentuk narasi dan persepsi. Istilah "super intelijen" bukan lagi sekadar bualan fiksi ilmiah, melainkan sebuah realitas yang secara perlahan meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan kita, membawa serta janji sekaligus dilema yang mendalam.
Super intelijen adalah bentuk AI yang melampaui batas-batas kognitif manusia. Jika manusia membutuhkan puluhan tahun untuk menguasai suatu ilmu, kecerdasan ini mampu menyerap, menganalisis, dan bahkan menghasilkan konten dalam hitungan menit. Ia mampu mengolah informasi, menyusun narasi berita, mengedit video, hingga membentuk opini publik dengan presisi algoritmik yang menakjubkan. Kemampuannya untuk berpikir logis dan mengambil keputusan jauh melampaui kapasitas kita.
Namun, di balik kehebatannya yang memukau, muncul pertanyaan fundamental: siapa sesungguhnya yang memegang kendali? Apakah manusia, sang pencipta, ataukah sistem itu sendiri telah mencapai titik otonomi yang membingungkan?
Bagi insan media, tantangan sesungguhnya bukanlah pada kecanggihan teknologi itu sendiri, melainkan pada potensi tergerusnya keseimbangan antara efisiensi data dan esensi kemanusiaan. Ketika algoritma tanpa lelah mampu menghasilkan berita yang "sempurna" secara teknis, godaan untuk menyerahkan kendali demi kecepatan dan minimnya bias emosional menjadi sangat besar.
Namun, narasi tanpa resonansi emosional tak lebih dari kumpulan kata-kata dingin. Super intelijen mungkin bisa menyusun kalimat yang sempurna secara gramatikal, tetapi ia tak akan pernah bisa merasakan kepedihan air mata seorang ibu, kegelisihan warga di ujung desa, atau getaran kejujuran dari seorang narasumber. Padahal, justru di situlah inti dari jurnalisme bersemayam: memberi jiwa pada setiap narasi, memanusiakan informasi.
Kita memang tak bisa menghalangi gelombang inovasi teknologi, namun kita memiliki kekuatan untuk menentukan arah navigasinya. Tugas kita, khususnya para jurnalis, bukanlah melawan mesin, melainkan memastikan bahwa kompas moral dan nurani tetap menjadi panduan utama dalam penyajian informasi. AI boleh menjadi penolong yang perkasa, namun kebenaran hakiki, yang berakar pada empati dan pengalaman manusia, harus tetap lahir dari sentuhan hati, bukan sekadar kalkulasi algoritma.
Super intelijen memang berpotensi menjadi berkah luar biasa bagi dunia informasi. Namun, tanpa kerangka etika dan kendali yang kuat, potensi destruktifnya bisa mengikis kepercayaan publik. Dan ketika masyarakat tak lagi memiliki landasan kepercayaan terhadap informasi, maka fondasi demokrasi pun terancam rapuh. Kemanusiaan kita harus tetap menjadi inti, bahkan saat mesin mulai berpikir lebih cepat dari kita.
