Suatu hari, nasib membawanya terdampar di sebuah pulau sunyi di pesisir Lampung. Pulau itu masih perawan: hutan lebat, suara ombak yang seolah tengah menenun mantra, dan cahaya matahari yang jatuh seperti serpihan emas. Raden Mas Arya yang biasanya tak mudah gentar merasa bahwa pulau itu punya sesuatu. Aura tua. Aura yang menyimpan cerita sebelum manusia sempat menuliskannya.
Hari-hari ia habiskan dengan bertapa, menenangkan napas, dan mendengarkan bisikan alam. Namun takdir, seperti biasa, punya agenda sendiri. Sang pendekar jatuh sakit. Bukan karena luka perang, tapi karena perjalanan panjang yang mulai menagih bayaran. Ketika detik-detik terakhirnya mendekat, ia memanggil para nelayan yang menemukannya.
Dengan suara lirih namun tegas seolah masih menyimpan sisa-sisa wibawa seorang kesatria ia menyampaikan permintaan terakhir: “Kuburkan aku di pulau ini. Di tempat aku menemukan ketenangan yang tidak pernah kutemui sepanjang hidupku.”
Permintaan itu dipenuhi. Dan sejak hari itu, pulau itu dikenal dengan nama Kiluan, yang dalam bahasa Lampung berarti permintaan. Sebuah nama yang melekat sebagai penghormatan pada sang pengembara yang memilih pulau sunyi sebagai rumah keabadiannya.
Begitulah legenda itu diceritakan turun-temurun tentang pendekar dari Banten dan sebuah permintaan yang mengubah nama sebuah pulau untuk selamanya.(*)

