Niat baik tak selalu berujung baik. Itulah yang kini menyelimuti Gerakan Ayah Ambil Rapor, sebuah program yang awalnya digadang-gadang untuk memperkuat peran ayah dalam pendidikan anak. Alih-alih menuai apresiasi, program ini justru dibanjiri kritik tajam dari masyarakat.
Di media sosial, gelombang protes datang bertubi-tubi. Bukan soal menolak peran ayah yang mulia. Tapi soal empati yang terasa absen dalam perumusan kebijakan.
“Saya tidak setuju dengan program ini karena tidak adil. Apa penggagas ide ini tidak memikirkan perasaan anak yatim? Secara tidak langsung kalian menyayat hati mereka,” tulis akun @ᬊALEX BAE᭄.
Komentar serupa datang dari @M. Tomi Putra. Ia menilai program tersebut berpotensi menekan mental anak-anak yang tidak memiliki sosok ayah.
“Bukannya bikin semangat, malah membuat mental seorang anak menjadi drop,” tulisnya.
Sekolah idealnya menjadi ruang aman tempat anak tumbuh tanpa harus membandingkan luka. Namun dalam praktiknya, gerakan ini dinilai menciptakan situasi canggung, bahkan menyakitkan, terutama bagi anak yatim.
Bayangkan seorang anak berdiri di barisan pembagian rapor, sementara teman-temannya datang bersama ayah. Bukan motivasi yang muncul, melainkan satu pertanyaan sunyi: “Kenapa aku berbeda?”
Netizen @Awan menyoroti sisi lain yang tak kalah penting. Program ini juga melukai perasaan para ayah yang terpaksa jauh dari keluarga demi mencari nafkah.
“Bukan cuma anak yatim, tapi juga menyakiti hati bapak yang sedang merantau memperjuangkan nasib keluarga,” tulisnya.
Kritik paling keras diarahkan pada pembuat kebijakan. Program ini dinilai lahir tanpa musyawarah dan kajian sosial yang matang.
“Kalau membuat aturan jangan seenaknya. Ini menyangkut orang banyak,” tulis akun @Papa Adi. Ia juga menyinggung ironi pembuat kebijakan yang tetap digaji, sementara orang tua di luar sana berjibaku sekadar agar anaknya bisa makan.
Nada protes ini menunjukkan satu hal penting: masyarakat tidak anti keterlibatan ayah, tapi anti kebijakan yang buta realitas.
Gerakan Ayah Ambil Rapor sejatinya bisa menjadi ide baik jika diterapkan secara inklusif tanpa memaksa, tanpa menghakimi keadaan keluarga anak. Pendidikan bukan panggung pencitraan, melainkan ruang empati.
Jika tidak dievaluasi, program semacam ini berisiko menjadi kebijakan simbolik yang ramai di spanduk, tapi sepi rasa.
Karena dalam dunia pendidikan, yang paling dibutuhkan anak bukan seremoni melainkan pengertian.(*)
Terbaru
Lebih lama

