vfRLx8H2uqdqBCqTEItJFZCD3xp6D4LE2kPIUYxS

Pemberdayaan Desa: Dari Program ke Kesadaran, dari Proyek ke Kemandirian


Oleh: Riyadi Murdoko
Koordinator TPP P3MD Pringsewu 

Pemberdayaan masyarakat desa bukanlah konsep yang lahir dalam semalam. Ia merupakan proses panjang yang berjalan seiring dinamika kebijakan, pendekatan pembangunan, dan kesiapan sosial masyarakat itu sendiri. Dalam perjalanan waktu, pemberdayaan desa setidaknya dapat dibaca melalui empat fase penting: mobilisasi, peningkatan kapasitas, pemberdayaan, dan kemandirian.

Mobilisasi: Menanam Kesadaran Awal

Fase mobilisasi merupakan titik awal. Pada tahap ini, masyarakat diperkenalkan pada nilai-nilai dasar demokrasi, partisipasi, dan kebersamaan. Program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) tahap awal menjadi instrumen penting untuk membangkitkan kesadaran kolektif bahwa pembangunan tidak semata urusan pemerintah, melainkan juga tanggung jawab warga.

Mobilisasi belum berbicara banyak tentang hasil. Ia lebih menekankan pada proses: mengajak masyarakat hadir, bersuara, dan mulai percaya bahwa perubahan dapat diupayakan bersama.

Peningkatan Kapasitas: Belajar Berorganisasi dan Berdaya

Tahap berikutnya adalah peningkatan kapasitas masyarakat, yang berlangsung pada PPK lanjutan hingga PNPM PPK. Di fase ini, masyarakat tidak lagi sekadar diajak berkumpul, tetapi mulai dilatih untuk berkelompok, berorganisasi, dan mengelola kegiatan secara mandiri.

Munculnya Usaha Ekonomi Produktif (UEP) menjadi penanda penting bahwa pemberdayaan mulai menyentuh aspek ekonomi. Masyarakat didorong untuk tidak hanya bergantung pada bantuan, tetapi mengelola potensi yang dimiliki secara kolektif.

Pemberdayaan: Delegasi dan Kelembagaan Desa

Puncak dari pendekatan berbasis program terlihat pada fase pemberdayaan melalui PNPM Mandiri Perdesaan. Pada tahap ini, pendelegasian kewenangan mulai nyata. Desa memiliki Tim Pengelola Kegiatan (TPK), baik fisik maupun nonfisik seperti Simpan Pinjam Perempuan (SPP).

Desa juga mulai memiliki dokumen perencanaan seperti RPJMDes, serta menjalankan mekanisme musyawarah berjenjang—musyawarah dusun, musyawarah desa, hingga musyawarah antar desa (MAD). Lahir pula Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) beserta Unit Pengelola Kegiatan (UPK) sebagai wadah pengelolaan bersama.

Namun, pada fase ini pula muncul pertanyaan penting: sejauh mana desa benar-benar berdaya, dan sejauh mana masih bergantung pada desain program dari luar?

Kemandirian: Ujian Sesungguhnya

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menandai babak baru: kemandirian desa. Desa diakui sebagai subjek pembangunan dengan kewenangan yang lebih luas, termasuk pengelolaan anggaran dan perencanaan pembangunan.

Hadirnya Tenaga Pendamping Profesional (TPP) menjadi bagian dari upaya menjaga proses tersebut tetap pada rel pemberdayaan. Namun tantangannya jelas: pendampingan harus memperkuat kapasitas desa, bukan menciptakan ketergantungan baru.

Dari Proyek ke Kesadaran

Pemberdayaan sejatinya bukan soal banyaknya program atau besarnya anggaran, melainkan tumbuhnya kesadaran, kapasitas, dan keberanian desa untuk menentukan arah pembangunan sendiri. Jika pemberdayaan berhenti pada serapan anggaran dan laporan kegiatan, maka kemandirian hanya akan menjadi jargon.

Desa tidak dibangun sekali jalan. Ia tumbuh melalui proses belajar yang panjang—dari mobilisasi menuju kemandirian. Di sanalah pemberdayaan menemukan makna sejatinya.

Tabik.
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar