vfRLx8H2uqdqBCqTEItJFZCD3xp6D4LE2kPIUYxS

Setelah 10 Tahun Implementasi UU Desa: Desa sebagai Entitas, Bukan Sekadar Administrasi


Oleh: Nurul Hilal 

Sepuluh tahun sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diimplementasikan, desa seharusnya telah bertransformasi menjadi entitas pemerintahan yang kuat, mandiri, dan berdaulat. UU Desa lahir dengan semangat korektif terhadap paradigma lama yang memposisikan desa sekadar sebagai objek pembangunan. Desa ditempatkan sebagai subjek, dengan kewenangan, sumber daya, dan ruang demokrasi yang lebih luas.

Namun, satu dekade kemudian, pertanyaan mendasarnya adalah: sejauh mana desa benar-benar berfungsi sebagai sebuah entitas—bukan hanya administratif, tetapi juga sosial, politik, dan kultural?

Desa sebagai Entitas Utuh

UU Desa memandang desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, kewenangan, serta hak untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Ini menempatkan desa bukan sekadar unit birokrasi paling bawah, melainkan self-governing community. Dalam konteks ini, desa adalah ruang hidup, ruang demokrasi, dan ruang produksi sosial.

Namun dalam praktik, wajah desa kerap direduksi menjadi institusi administratif: kantor desa, laporan, aplikasi, dan serangkaian kewajiban prosedural. Dimensi sosial dan politik desa sering tertinggal di belakang derap administrasi.

Dua Belas Asas yang Terlupakan sebagai Target

UU Desa secara eksplisit menetapkan 12 asas, yakni: rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, dan pemberdayaan masyarakat.

Sejak awal, asas-asas ini seharusnya menjadi koridor sekaligus target capaian implementasi—baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Artinya, bukan hanya diukur dengan indikator ada atau tidak ada, sudah atau belum, tetapi sejauh mana asas tersebut hidup dalam praktik pemerintahan dan kehidupan sosial desa.

Kuantitatif vs Kualitatif: Orientasi yang Timpang

Implementasi UU Desa selama ini cenderung berat ke pendekatan kuantitatif. Musyawarah desa diukur dari jumlah pelaksanaan, bukan kualitas deliberasinya. Partisipasi masyarakat dinilai dari daftar hadir, bukan dari sejauh mana suara warga memengaruhi keputusan. Transparansi diartikan sebagai papan informasi, bukan keterbukaan makna dan akses.

Pendekatan kualitatif—yang menilai substansi, proses, dan dampak—sering kali absen. Akibatnya, asas-asas UU Desa hidup sebagai teks normatif, tetapi mati dalam praktik sosial.

Siapa Penjaga Asas?

Pertanyaan krusial berikutnya adalah: siapa yang bertugas menjaga implementasi asas-asas tersebut?

Pertama, Pemerintah Desa seharusnya menjadi aktor utama. Kepala desa dan perangkatnya bukan hanya administrator anggaran, tetapi penjaga nilai dan etika pemerintahan desa.

Kedua, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berperan sebagai pengontrol internal. Namun dalam banyak kasus, BPD lemah secara kapasitas maupun keberanian politik.

Ketiga, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat lebih sering berperan sebagai auditor administratif ketimbang pembina substansi. Evaluasi didominasi kepatuhan regulasi, bukan mutu demokrasi desa.

Keempat, Pendamping Desa sering terjebak pada peran teknis proyek, bukan sebagai fasilitator pemberdayaan dan transformasi sosial.

Di luar struktur formal, masyarakat sipil, akademisi, dan media sejatinya memiliki peran penting sebagai penjaga eksternal nilai-nilai UU Desa. Sayangnya, peran ini belum terinstitusionalisasi dengan kuat.

Reduksi Asas Menjadi Ceklis

Problem utama implementasi UU Desa adalah reduksi asas menjadi ceklis administrasi. Rekognisi diterjemahkan sebagai pengakuan formal, bukan penghormatan terhadap kearifan lokal. Subsidiaritas dipersempit menjadi pembagian urusan, bukan keberanian desa mengambil keputusan sendiri.

Desa menjadi kuat secara anggaran, tetapi lemah secara kedaulatan. Kaya dokumen, miskin refleksi.

Refleksi Satu Dekade

Tidak dapat dipungkiri, UU Desa membawa capaian signifikan: infrastruktur desa membaik, akses layanan meningkat, dan ekonomi desa mulai bergerak. Namun capaian tersebut belum sepenuhnya berbanding lurus dengan penguatan demokrasi dan pemberdayaan warga.

Jika desa hanya diukur dari serapan anggaran dan kepatuhan laporan, maka desa kehilangan rohnya sebagai entitas sosial dan politik.

Penutup

Setelah 10 tahun implementasi, UU Desa membutuhkan reorientasi serius. Dua belas asas harus dikembalikan sebagai ukuran mutu, bukan sekadar norma hukum. Evaluasi desa harus berani masuk ke wilayah kualitatif: relasi kuasa, partisipasi bermakna, dan kemandirian nyata.

Tanpa itu, desa akan terus berjalan di lorong administrasi, jauh dari cita-cita awalnya sebagai ruang hidup yang berdaulat dan memberdayakan.

Dokumen sudah saya susun dalam dua bagian utama: kerangka artikel yang sistematis dan artikel penuh dengan pendekatan reflektif-kritis. Struktur dan diksi saya arahkan agar relevan untuk media opini, jurnal kebijakan desa, maupun rubrik analisis pemerintahan.

Tabik.
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar