vfRLx8H2uqdqBCqTEItJFZCD3xp6D4LE2kPIUYxS

Preman Pensiun

Amir masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana semua itu bermula. Ia berulang kali menegaskan pada dirinya sendiri: ia bukan perampok. Setidaknya, bukan orang yang masuk ke rumah target, menodongkan senjata, atau menjarah harta orang lain. Ia hanya seorang sopir, mantan driver yang perlahan terseret ke dalam lingkaran gelap sebuah komplotan kejahatan. Semua bermula dari satu tugas yang, saat itu, terdengar sederhana: membawa mobil ke daerah target.

Dengan nada suara yang kadang meninggi, kadang merendah seolah menahan beban ingatan, Amir mulai bercerita tentang hari ketika dirinya direkrut. Keputusan memilih dirinya, kata Amir, bukan kebetulan. Ada campur tangan keyakinan mistis yang diyakini kelompok tersebut, sesuatu yang bagi mereka bukan sekadar kepercayaan, melainkan pedoman.

“Berdasarkan saran dukun mereka, saya dipilih dan dipercaya untuk mencari satu unit mobil berpelat nomor luar daerah,” ujar Amir. Matanya berbinar, seakan kembali ke momen penuh ketegangan sekaligus kebanggaan perasaan campur aduk yang kala itu menutupi risiko besar di balik tugas tersebut.

Mobil itu bukan milik mereka. Amir ditugaskan mencari dan menyewa kendaraan agar tak mudah dikenali warga setempat. Setelah semuanya siap, mereka berangkat dari sebuah rumah yang dijadikan titik kumpul. Di dalam mobil, hanya ada empat orang.

“Saya, pemilik mobil yang kami sewa dengan harga tiga ratus lima puluh ribu rupiah, dan dua orang anggota kelompok perampok,” tuturnya. Sementara enam orang lainnya sudah lebih dulu berada di lokasi target. Mereka adalah warga asli daerah tersebut, orang-orang yang paham betul medan, jalan tikus, dan ritme kehidupan sekitar.

Ada momen yang hingga kini masih membekas di benak Amir. Dua orang anggota kelompok yang ikut berangkat malam itu terlebih dahulu berpamitan.

“Kiting sungkem dan minta restu ibunya yang sudah renta. Sementara Bardan minta izin ke empat orang istrinya,” kata Amir pelan. “Keberangkatan mereka itu antara hidup dan mati.”

Target mereka bukan sembarang rumah. Sasaran operasi adalah kediaman seorang pengusaha sawit. Dari informasi yang beredar di lingkaran mereka, rumah itu disebut-sebut menyimpan uang tunai dalam jumlah fantastis hingga dua miliar rupiah yang konon disimpan langsung di dalam rumah.

Persiapan dilakukan dengan serius. Senjata api rakitan lengkap dengan amunisi sudah disiapkan. Setelah semuanya dianggap siap, rombongan bergerak menuju perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan.

Namun perjalanan itu jauh dari kata mulus. Di sepanjang jalan, mereka berpapasan dengan operasi polisi bukan sekali, tapi empat kali.

“Entah kenapa kami lolos semua,” ujar Amir. Ketegangan mencapai puncaknya. Ketakutan begitu nyata hingga Bardan, salah satu anggota kelompok, nekat membuang seluruh amunisi yang dibawanya di tengah perjalanan.

Sejak awal, Amir menegaskan batas keterlibatannya. Ia tahu dirinya berada di wilayah abu-abu, dan ia mencoba menarik garis setipis mungkin.

“Komitmen saya jelas. Saya hanya mengantar sampai titik tujuan, sekitar satu kilometer dari lokasi target operasi,” katanya. Tidak lebih. Tidak kurang.

Saat mobil berhenti di titik yang telah disepakati, Amir tetap berada di balik kemudi. Mesin mobil dibiarkan menyala. Ia tak ikut turun. Tak ikut mendekat. Tugasnya hanya menunggu.

Di tengah gelap dan sunyi, waktu terasa berjalan lambat. Setiap detik menjadi beban. Setiap suara kecil membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ingat betul pesan yang disampaikan sebelum mereka turun.

“Waktu mereka bekerja hanya satu jam. Tidak boleh lebih,” ucap Amir, mengulang kalimat yang terus terngiang di kepalanya malam itu.

Satu jam yang baginya terasa jauh lebih lama dari enam puluh menit. Satu jam yang kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah hidupnya—kisah tentang seorang sopir yang pernah berdiri di batas paling tipis antara menjadi saksi dan menjadi bagian dari sebuah kejahatan.

---
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar