Malam itu, di tepi pantai pesisir Lampung, ombak bergulung pelan di bawah sinar bulan yang mengambang tenang. Di dalam sebuah rumah panggung kayu yang sederhana, seorang lelaki tua duduk bersila di lantai, menatap anak-anak muda di sekitarnya dengan mata penuh kebijaksanaan. Ia adalah Batin Pangeran, keturunan langsung dari Adipati Jaya Menang Kelagaan. Malam ini, ia akan mengisahkan kembali sejarah leluhur mereka, agar tak terlupakan oleh generasi yang akan datang.
Perjalanan Sang Adipati
Pada abad ke-15, di tanah tinggi Liwa, seorang bangsawan bernama Jaya Menang Kelagaan merasa terpanggil untuk membuka lahan baru. Tanah di Ketakhdana Gedung Asin Marga Liwa mulai penuh, dan ia percaya bahwa di pesisir selatan Lampung ada tempat yang lebih subur dan menjanjikan bagi rakyatnya. Dengan restu para tetua dan perbekalan yang cukup, ia bersama sekelompok pengikut setianya berangkat menuju wilayah yang kini dikenal sebagai Tanjung Jati Marga Pertiwi.
Setelah perjalanan yang panjang melintasi hutan lebat dan sungai deras, mereka tiba di sebuah daerah yang masih liar, namun kaya akan sumber daya alam. Pepohonan jati tumbuh kokoh, menandakan tanah yang subur. Sungai mengalir jernih, dan hewan-hewan berkeliaran, menjadi pertanda bahwa daerah ini bisa menopang kehidupan. Dengan penuh keyakinan, Adipati Jaya Menang Kelagaan menetapkan wilayah ini sebagai tempat tinggal baru dan menamai kampung itu Tanjung Jati, mengambil nama dari tanah asalnya di Ranau.
Membangun Peradaban Baru
Di bawah kepemimpinan Adipati Jaya Menang Kelagaan, kampung ini berkembang pesat. Ia membagi lahan untuk pertanian dan perkebunan, di mana rakyat mulai menanam pala, kandis, durian, tangkil, dan nipah. Tak hanya itu, ia juga membangun sistem tata pemerintahan yang terstruktur, membagi wilayah kampung menjadi beberapa bagian yang dipimpin oleh tokoh-tokoh kepercayaannya.
Lima tahun pertama, Adipati mendirikan Suwak, yang kelak menjadi Umbulan Batin Pemuka. Namun, karena merasa tempat itu belum strategis, ia memindahkan pusat kampung ke wilayah baru yang disebut Pekon Tengah. Wilayah ini berkembang menjadi kebun kelapa yang subur, namun setelah lima tahun, ia kembali memindahkan pusat kekuasaan ke Tanjung Jati, yang lebih dekat dengan pantai dan jalur perdagangan laut.
Di bawah kepemimpinannya, Tanjung Jati tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga pusat perdagangan dan pelabuhan penting di pesisir Lampung. Para pedagang dari berbagai daerah datang untuk berdagang rempah-rempah dan hasil bumi, menjadikan kampung ini semakin makmur.
Pewarisan Kepemimpinan
Seiring bertambahnya usia, Adipati Jaya Menang Kelagaan mulai menyiapkan penerusnya. Kepemimpinan kemudian diwariskan kepada putranya, Kademang Mangku Bumi, yang melanjutkan pengelolaan kampung dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Setelahnya, kepemimpinan berlanjut kepada Kariya Mangku Bumi, lalu kepada Temenggung Mangku Bumi, hingga akhirnya pada abad ke-12, kekuasaan berada di tangan Pangeran Surya Dilaga.
Di era kepemimpinan para penerusnya, wilayah ini terus berkembang dan menarik perhatian banyak pendatang. Bahkan pada tahun 1927, seorang warga Serang Banten bernama Mohammad Yusuf datang membawa sepuluh kepala keluarga untuk mendirikan pemukiman baru bernama Pelandiyan Tegokh, atas izin Dalom Jaya Kusuma Wangsa.
Warisan Sang Adipati
Kini, meski zaman telah berubah, warisan Adipati Jaya Menang Kelagaan tetap terasa. Tanjung Jati Marga Pertiwi telah menjadi kampung yang makmur dan bersejarah. Setiap sudutnya mengandung kisah perjuangan dan dedikasi seorang pemimpin yang mengorbankan segalanya demi kesejahteraan rakyatnya.
Batin Pangeran mengakhiri kisahnya dengan mata berbinar. Para pemuda yang mendengarkan duduk terdiam, kagum pada perjalanan panjang leluhur mereka. Mereka tahu, tugas mereka sekarang adalah menjaga dan meneruskan warisan ini, sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu mereka selama berabad-abad.
Malam itu, ombak masih bergulung di tepi pantai. Namun, di hati setiap penduduk Tanjung Jati, semangat Adipati Jaya Menang Kelagaan tetap hidup, abadi dalam ingatan dan sejarah.(*)