vfRLx8H2uqdqBCqTEItJFZCD3xp6D4LE2kPIUYxS

Epik Pejuang Pesagi

Derap langkah mereka menggema di lereng Gunung Pesagi. Cahaya bulan menyinari wajah-wajah penuh tekad. Malam ini bukan sekadar malam biasa—ini adalah malam kebangkitan.

Dipa berdiri di tepi tebing, menatap ke bawah. Dari sini, ia bisa melihat hamparan hutan yang membentang luas hingga ke Danau Ranau. Airnya berkilauan dalam pekatnya malam, seperti memanggilnya untuk mengingat janji leluhur.

“Kita tak boleh mundur,” suara lantang seorang lelaki tua membelah keheningan. Minak Pemuka, tetua adat, berdiri di tengah lingkaran para pejuang. Matanya menyala penuh semangat.

Dipa mengepalkan tangan. “Aku bersumpah, sebagaimana nenek moyang kita menjaga tanah ini, aku tak akan mundur walau dikepung. Lampung tak akan jatuh!”

Seruan persetujuan bergemuruh di udara. Mereka adalah keturunan para pelindung, yang sejak zaman dahulu tak pernah menyerah pada penjajah. Kini, ancaman baru datang—penjajah dari seberang laut yang ingin merampas tanah mereka, memperbudak rakyat, dan merusak kehormatan mereka.

Malam itu, mereka turun dari Pesagi, menyusuri hutan menuju Danau Ranau. Di tepian danau, mereka melakukan ritual penyucian. Dipa merasakan air yang dingin menyentuh kulitnya, membawa kekuatan yang seakan berasal dari leluhur.

“Air ini bukan sekadar air,” kata Minak Pemuka. “Ia adalah saksi sumpah kita. Siapa yang telah disucikan di Danau Ranau, pantang berkhianat.”

Dipa mengangguk. Ia tahu, dalam hitungan jam, mereka akan bertemu musuh.

Fajar merekah ketika pasukan penjajah tiba di lembah. Mereka datang dengan senjata lengkap, percaya bahwa mereka bisa menundukkan para pejuang dengan mudah.

Namun, mereka keliru.

Dari balik pepohonan, anak panah melesat. Batu-batu beterbangan, menjatuhkan lawan sebelum mereka sempat bertarung. Dengan teriakan perang, Dipa dan kawan-kawannya menerjang.

Pedang bertemu keris pusaka, darah membasahi tanah. Dipa bertarung dengan gagah, menghunuskan keris dengan kecepatan petir. Ia menebas satu per satu musuh yang mencoba menginjak tanah leluhurnya.

Penjajah terdesak. Mereka tak menyangka perlawanan akan sekuat ini. Mata mereka dipenuhi ketakutan.

Seorang komandan musuh mengacungkan pedangnya ke arah Dipa. “Menyerahlah! Kau tak bisa menang melawan kami!”

Dipa tersenyum, meski tubuhnya penuh luka. “Akulah Lampung. Aku lebih memilih mati berdiri daripada hidup berlutut dalam ketakutan.”

Dengan teriakan lantang, ia menerjang. Komandan musuh terkejut, tak sempat menangkis. Dalam sekejap, pertarungan berakhir.

Pasukan penjajah yang tersisa lari tunggang-langgang. Mereka tahu, Lampung bukan tanah yang bisa ditaklukkan dengan mudah.

Dipa berdiri di atas tanah yang ia lindungi, menatap mentari yang mulai naik. Hari ini, mereka menang. Namun, ia tahu, perjuangan belum berakhir.

Sebab selama masih ada yang berani mengancam tanah leluhurnya, selama itu pula semangatnya akan terus membara.

Akulah Lampung.
Tak mundur walau dikepung.
Tak gentar meski badai menerjang. (*)
Related Posts

Related Posts

Post a Comment