Di balik kabut abadi yang menyelimuti Gunung Canguk Ghaccak, lahirlah seorang pangeran yang kelak dikenang sebagai legenda. Ia adalah Nunyai, bergelar Minak Ngedio Biso. Dalam bahasa Lampung, "Ngedio Biso" berarti "Dia Berbisa", karena setiap titahnya adalah hukum, dan sumpahnya menjadi takdir.
Nunyai bukan manusia biasa. Ia adalah keturunan raja, darah bangsawan yang diwarisi dari kedua orang tuanya. Ayahandanya, Minak Gedong Ratu, adalah penguasa Gunung Canguk yang disegani, dan ibunya, Ratu Purnama, adalah putri dari negeri Kabung yang dikenal dengan kecantikannya yang menandingi cahaya bulan. Dari mereka, Nunyai mewarisi wibawa dan kesaktian luar biasa.
Nunyai bertubuh bidang, tidak terlalu tinggi, namun tidak pula pendek. Rambutnya hitam legam, panjang sebahu, selalu tergerai tertiup angin lereng gunung. Sorot matanya tajam dan menusuk hingga ke dasar jiwa. Siapa pun yang memandangnya, baik lelaki maupun perempuan, tak bisa mengelak dari pesonanya. Pesona yang tak hanya berasal dari parasnya, tapi juga dari aura kekuasaan dan kesaktian yang mengelilinginya.
Sejak remaja, Nunyai telah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan. Ia mampu berbicara dengan binatang, berjalan tanpa meninggalkan jejak, dan paling menakjubkan, setiap sumpah atau kutukannya selalu menjadi kenyataan. Ketika seorang pengkhianat istana melarikan harta kerajaan, Nunyai hanya mengucap, "Biar ia berjalan ke arah matahari, namun tak pernah sampai." Dan benar, si pengkhianat tersesat dalam hutan selamanya.
Julukan "Pangeran dari Lereng Gunung Canguk" bukan sekadar gelar. Itu adalah pengakuan dari seluruh daerah sekitarnya bahwa Nunyai adalah pelindung sekaligus pemimpin spiritual dan duniawi mereka. Di bawah kepemimpinannya, rakyat hidup dalam ketertiban dan makmur. Tidak ada yang berani melanggar titahnya, karena semua tahu, titahnya adalah takdir.
Namun, bukan hanya kekuasaan yang membuat namanya dikenang. Nunyai juga terkenal karena tiga wanita luar biasa yang menjadi istrinya:
Pertama, Rendang Sedayu, bergelar Majeu Lemaweng, cucu Ratu di Puggung. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara yang terkenal: Minak Sengaji yang arif, Anom yang lincah, Minak Yudo Resmi yang gagah berani, Ratu Keserahan yang tajam lidah, dan Ratu Ibu yang bijak. Majeu Lemaweng mewarisi sifat-sifat mereka semua: kecerdikan, keberanian, dan kelembutan. Ia adalah istri pertama Nunyai dan menjadi pendampingnya dalam memerintah. Kecantikannya tak kalah dari para bidadari, dan kepiawaiannya dalam berdiplomasi membuatnya dicintai rakyat.
Kedua, Munggah Dabung dari Sekipi, seorang perempuan suku pinggiran yang ahli dalam ilmu obat-obatan dan racun. Munggah Dabung dikenal mampu menyembuhkan luka hanya dengan ramuan embun dan akar kayu. Tapi ia juga bisa membuat racun yang tak terdeteksi, yang membunuh perlahan seperti bayangan malam. Ia adalah penjaga rahasia kerajaan, pelindung takhta dari dalam gelap. Nunyai mencintainya karena keteguhan dan kesetiaannya.
Ketiga, Si Rambut Api, bukan manusia, melainkan makhluk dari bangsa jin. Rambutnya menyala merah seperti kobaran api, matanya keperakan. Ia tidak bisa memberikan keturunan, tapi memiliki kekuatan luar biasa. Si Rambut Api adalah penjaga dimensi spiritual kerajaan, mengusir roh jahat dan sihir hitam yang mencoba menyusup ke dalam tembok istana. Ia hanya berbicara dengan Nunyai, dan tak ada manusia lain yang sanggup menatap matanya lebih dari tiga detik.
Ketiga wanita ini hidup damai di Istana Gunung Canguk, karena masing-masing memiliki tempat dan peran yang tidak saling menyaingi. Namun, kedamaian itu terusik ketika muncul ancaman dari wilayah selatan, dari seorang dukun hitam bernama Ratu Segalak yang ingin merebut Gunung Canguk dan kesaktiannya.
Ratu Segalak mengirim pasukan siluman, membakar hutan, dan menyebar wabah di desa-desa. Rakyat mulai ketakutan. Para penasehat kerajaan mendesak Nunyai untuk mengutuk Ratu Segalak seperti ia lakukan terhadap para pengkhianat sebelumnya. Namun kali ini, Nunyai ragu. Ia tahu bahwa kutukan terhadap makhluk sekuat Ratu Segalak akan membawa dampak besar pada alam semesta.
Ia mengadakan musyawarah dengan ketiga istrinya.
"Majeu, apa pendapatmu?" tanya Nunyai.
"Bila kau mengutuk, akan ada harga yang dibayar. Tapi bila tidak, rakyat menderita. Pilihlah jalan tengah, temui dia, dan berperang hanya jika tiada jalan lain."
"Munggah, bagaimana menurutmu?"
"Aku bisa meracik racun untuk melumpuhkannya. Tapi dia bukan musuh biasa. Racunku hanya akan membuatnya marah. Kita butuh sihir setara."
"Si Rambut Api, kau tahu kekuatan Ratu Segalak."
"Ia berasal dari bayangan yang pernah aku kenal. Jika kau mengutuknya, dunia jin pun akan berubah. Tapi jika kau bersatu denganku, kita bisa menyegel kekuatannya ke dalam batu abadi."
Dengan restu dan bantuan ketiga istrinya, Nunyai memimpin sebuah ekspedisi rahasia ke jantung kekuatan Ratu Segalak. Ia tak datang membawa pedang, melainkan sumpah. Di hadapan langit yang merah membara, ia berdiri di puncak Gunung Sumping, mengangkat tangannya, dan berseru:
"Wahai Ratu dari Segalak, kau yang menanam ketakutan di ladang kami, menabur kebencian di angin kami, demi tanah dan rakyatku, aku bersumpah: kekuatanmu akan terikat pada batu, dan siapa pun yang menyentuhnya, akan terbakar oleh api keserakahanmu sendiri!"
Langit bergemuruh. Tanah berguncang. Ratu Segalak menjerit dari kejauhan, lalu hilang ditelan api. Di tengah bekas pertempuran, sebuah batu hitam mengilat berdiri—batu sumpah.
Namun, kutukan itu bukan tanpa harga. Nunyai mulai kehilangan kekuatannya sedikit demi sedikit. Rambutnya memutih, matanya kehilangan cahaya. Ia memutuskan menghilang dari dunia manusia, menyerahkan kerajaan kepada Majeu Lemaweng dan Munggah Dabung, sementara ia dan Si Rambut Api masuk ke dalam dimensi jin untuk beristirahat selamanya.
Legenda berkata, jika Gunung Canguk kembali diserang oleh kekuatan kegelapan, maka Batu Sumpah akan retak, dan Nunyai, Minak Ngedio Biso, akan bangkit dari kabut untuk sekali lagi melindungi tanah leluhurnya.
Dan hingga kini, setiap kali kabut turun lebih tebal dari biasa, rakyat sekitar percaya, itu adalah pertanda bahwa Pangeran dari Lereng Gunung Canguk sedang mengawasi mereka.
---