Wilayah Abung yang damai dan makmur mulai terguncang. Tiuh Pubian, salah satu tiuh tertua dan sakral di Abung, telah jatuh ke tangan musuh. Pasukan dari utara, berjumlah ribuan dan dipimpin oleh seorang panglima kejam bernama Tumenggung Wira Nagara. Mereka datang dengan niat memperluas kekuasaan dan menaklukkan seluruh tanah Abung.
Tiuh Pubian hancur dalam semalam. Api membakar rumah-rumah, pekikan perempuan dan anak-anak terdengar hingga ke Padang Ratu. Dalam waktu beberapa hari, musuh telah menetapkan target berikutnya: Padang Ratu dan Gunung Raya, pusat kekuatan adat dan spiritual orang Abung.
Di Padang Ratu, para umpu dan penyimbang berkumpul di Balai Adat. Umpu Tuyuk, seorang tua bijaksana yang memimpin musyawarah, mengangkat tongkatnya ke langit. "Kita tak bisa biarkan tanah warisan ini jatuh!" serunya. Namun, pasukan Abung kalah jumlah, senjata mereka pun kuno dibandingkan persenjataan musuh.
Para pemuda telah dikirim ke garis depan, namun kabar buruk terus berdatangan. Gunung Raya mulai terisolasi, dan hanya tinggal waktu sebelum Padang Ratu menjadi medan perang.
Malam itu, di sebuah gubuk sunyi dekat Way Seputih, seorang pria tua bermeditasi. Namanya Segahyo Anak Tuha, keturunan langsung dari Siwo Ruang leluhur agung yang dikenal sebagai penjaga pintu gerbang antara dunia manusia dan alam gaib.
Angin malam berhembus aneh. Suara harimau menggema dari hutan-hutan, dan air Way Seputih berkilau merah darah. Dalam penglihatannya, Segahyo melihat Padang Ratu dikepung, dan rakyatnya menjerit minta tolong. Ia pun bangkit, membawa tombak warisan Siwo Ruang, dan berjalan menuju jembatan Anek Haduyang.
Pagi itu, musuh telah mencapai jembatan Anek Haduyang. Ribuan prajurit bersiap untuk menyeberangi sungai, bersorak sorai dengan percaya diri. Namun langkah mereka terhenti.
Di tengah jembatan berdiri seorang lelaki tua bersorban putih, memegang tombak, matanya menyala seperti bara api. Segahyo Anak Tuha berdiri sendiri, tak bergeming.
"Minggir, tua bangka!" seru seorang panglima musuh. Tapi sebelum ia maju, tanah bergetar. Dari sungai Way Seputih, muncul ribuan lelaki bersorban putih, wajah mereka tak dikenal, tubuh mereka bersinar. Di belakang mereka, harimau-harimau besar muncul dari kabut.
Pasukan musuh membeku ketakutan. Tak satu pun bisa bergerak. Suara auman harimau menggema. Sosok-sosok bersorban putih mengepung jembatan. Segahyo mengangkat tombaknya, dan langit berubah gelap.
"Darah nenek moyang kami tak akan tertumpah sia-sia!" teriaknya. Dengan satu hentakan tombaknya ke tanah, api muncul dari bawah kaki musuh. Puluhan prajurit musuh terbakar dalam sekejap. Yang lain lari tunggang langgang, saling injak.
Mereka melihat apa yang tak dapat diterima logika, prajurit dari masa lalu bangkit, dan harimau menjadi pelindung tanah Abung.
Tak satu pun musuh mampu menyeberangi jembatan Anek Haduyang. Mereka yang mencoba, dibakar oleh api atau dicabik harimau gaib. Dalam waktu sehari, pasukan musuh musnah. Yang selamat melarikan diri kembali ke utara, meninggalkan senjata mereka.
Segahyo tak ditemukan setelah pertempuran. Beberapa mengatakan ia kembali ke dunia gaib. Namun setiap malam Jumat, penduduk sekitar mendengar suara harimau dan melihat sorban putih melayang di atas Way Seputih.
Umpu Tuyuk menyatakan hari itu sebagai Hari Pelindung Padang Ratu. Tanah Abung kembali damai. Namun kisah tentang Siwo Ruang dan prajurit sungai menjadi legenda sakral. Tidak ada yang berani menyentuh Way Seputih tanpa izin, karena mereka percaya, sang pelindung masih berjaga.
Hingga kini, anak-anak Abung tumbuh dengan cerita itu tentang satu orang yang membawa ribuan makhluk cahaya dan harimau, demi menjaga tanah leluhurnya. Dan bahwa kekuatan sejati, bukanlah jumlah, tapi keberanian, keyakinan, dan restu dari yang gaib.
TAMAT