vfRLx8H2uqdqBCqTEItJFZCD3xp6D4LE2kPIUYxS

Wat di Bukit Pesagi, Sejarah Buay Nuwat


Di puncak sunyi Bukit Pesagi, ketika fajar masih menggigil dalam kabut, seorang lelaki tua memanjatkan doa leluhur. Ia keturunan Buay Nuwat, suku tua yang dikenal paling dahulu hadir di bumi Lampung, bahkan sebelum cahaya mentari menembus hutan Kuripan. Konon, ketika orang pertama kali mendaki bukit dan berseru, “Adakah orang di sini?” terdengar sahutan gaib: “Wat” — artinya ada. Maka disebutlah mereka Buay Nuwat, yang telah "wat", yang telah ada sebelum yang lain.

Menurut keyakinan sakral mereka, hanya Mekhanai Aris dari Buay Nuwat yang boleh ngayak Muli Aris dari keturunan Anak Tuha. Di luar itu, dianggap melanggar tatanan gaib. Anak Tuha sendiri diyakini bukan manusia biasa—leluhurnya turun dari awang-awang, membawa kitab Susubo yang hanya bisa dibuka oleh Siwo Ruang, pewaris garis terang dari Anak Tuha. Dalam kitab itu, tergores sejarah awal mula kehidupan dan aturan antara buay, serta batas-batas kekuasaan warisan langit.

Pernah suatu ketika, dalam sebuah sesat begawi di Kuripan, seorang dari Buay Unyi dengan angkuhnya menolak menari dengan kebuayan lain. Ia menantang Siwo Ruang dengan suara lantang:

> “Nyak anjak Buay Unyi, nyak nginjak ke Siwo Ruang nari lawan nyak, nyak agau ngenah tarian Siwo Ruang sai cawo ulun megung sai tuho lem Abung Siwo Migo.”



Namun, belum sempat pakaian adat dikenakan sepenuhnya, ia roboh di tanjaran begawi. Nyawanya terlepas seolah dituntut oleh roh-roh yang tak ridho. Kejadian itu jadi pengingat: menantang adat dan garis keturunan bukan hanya soal harga diri, tapi menyentuh dunia gaib yang tak tampak.

Di kampung tua Kuripan, dikenal juga sebagai Jangguk Kawak, tersimpan pusaka rantai besi berkait dua yang tak pernah bersentuhan. Pusaka itu simbol ikatan takdir antar buay, yang saling terkait namun tidak boleh mencampuri hak waris dan kehormatan satu sama lain.

Mereka percaya, jika tiga kampung sakral Buay Nuwat—Kuripan, Jangguk Kawak, dan satu kampung rahasia yang tak disebut namanya—jatuh ke tangan orang luar, maka Bumi Lampung akan suram. Di Padang Ratu, sumur keramat masih dijaga. Airnya bening, tapi bukan untuk diminum—melainkan untuk menerawang. Dari dasar sumur itu, sesepuh dapat melihat bayang kejadian sebelum terjadi.

Maka dari itu, tak sembarang orang boleh membuka kitab Susubo, menari dalam begawi, atau mengayak anak tuha. Sebab setiap langkah, setiap ucapan, menyentuh garis halus antara dunia nyata dan warisan langit. Di tanah ini, adat bukan sekadar aturan, tapi pelindung antara manusia dan marahnya leluhur.

Wat. Kami telah ada. Dan kami masih ada.


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar