
Di tengah keriuhan pembangunan dan program-program populis yang mulai menggeliat di Pringsewu, sebuah pertanyaan mendasar menghantui: akankah media lokal, sebagai pilar demokrasi, mampu mempertahankan perannya sebagai pengawas yang tajam, atau justru terbuai dalam euforia kedekatan dengan kekuasaan? Dialog yang terbuka antara DPRD dan insan pers adalah langkah positif, namun tantangan sesungguhnya terletak pada menjaga jarak kritis.
Program seperti 'Makan Bergizi Gratis' (MBG), yang mengusung misi mulia untuk menanggulangi gizi buruk dan stunting pada anak sekolah, adalah contoh konkret bagaimana niat baik saja tidak cukup. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan transparan, termasuk dari media dan masyarakat, program semacam ini berpotensi sekadar menjadi panggung seremonial, jauh dari dampak substansial yang diharapkan. Siapa yang menjamin akuntabilitas penyaluran dana dan distribusi? Di sinilah keberanian pers lokal diuji: apakah akan menjadi pelapor seremonial, atau justru turun langsung mengawal setiap tahapan program.
Sinergi dengan pemerintah memang esensial, namun prinsip menjaga 'jarak kritis' tidak boleh diabaikan. Dekat boleh, asal tidak lebur; terbuka boleh, asal tidak tunduk. Banyak jurnalis merasakan betul tekanan terselubung untuk 'melunakkan' pemberitaan atau 'membantu citra baik' pemerintah. Ini adalah medan perjuangan nyata bagi independensi media. Hanya pers yang bebas dari belenggu kepentingan politik mana pun yang dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan optimal.
Untuk memastikan demokrasi lokal berfungsi optimal dan pembangunan berjalan akuntabel, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi:
1. **Keterbukaan Informasi Publik:** Pemerintah dan DPRD wajib menyediakan data anggaran serta realisasi program secara transparan agar publik dan media dapat melakukan verifikasi faktual.
2. **Partisipasi Publik Inklusif:** Melibatkan media dan masyarakat sejak tahap perencanaan program, bukan hanya saat peresmian, akan memastikan relevansi dan akuntabilitas.
3. **Perlindungan Jurnalis:** Adanya jaminan hukum dan perlindungan sosial mutlak diperlukan agar wartawan dapat bekerja tanpa ancaman atau tekanan politik, ekonomi, maupun personal.
4. **Investigasi Mendalam:** Media harus proaktif melakukan audit sosial dan investigasi lapangan, jauh melampaui sekadar menyalin siaran pers pemerintah.
Pringsewu membutuhkan media yang berani menyuarakan kebenaran dari lapangan, bukan yang manis di telinga penguasa. Jurnalis harus berani menjaga integritas dan jarak kritis, menolak godaan kedekatan yang mengikis objektivitas. Demokrasi lokal akan benar-benar hidup jika ada keberanian untuk bersuara, meskipun suara itu terkadang menciptakan ketidaknyamanan. Jika semua elemen – DPRD, pemerintah daerah, media, dan masyarakat – konsisten menjaga integritas, Pringsewu bukan hanya akan memiliki program-program progresif, tetapi juga fondasi keadilan sosial yang kokoh.