Jakarta — Di tengah meningkatnya aktivitas transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI), sejumlah pola pergerakan harga saham kembali menjadi sorotan. Temuan awal menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan maupun penurunan harga yang terjadi sebelum pengumuman resmi aksi korporasi, laporan keuangan, maupun keterbukaan informasi dari emiten. Fenomena ini memunculkan dugaan adanya celah distribusi informasi di pasar modal yang belum sepenuhnya tertutup.
Dalam penelusuran yang dilakukan terhadap data perdagangan harian, sejumlah saham tercatat bergerak signifikan dalam rentang waktu satu hingga lima hari sebelum keterbukaan informasi dipublikasikan melalui sistem resmi BEI. Pola tersebut biasanya mencakup lonjakan volume, peningkatan transaksi investor tertentu, serta perubahan harga di luar rentang wajar perdagangan.
Regulator menyatakan bahwa pengawasan terus dilakukan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kewenangan memanggil pihak terkait, termasuk direksi emiten, perusahaan sekuritas, hingga pihak yang diduga memiliki akses informasi material. Namun, mekanisme penindakan bergantung pada kelengkapan data kliring dari KPEI, catatan perpindahan kepemilikan efek di KSEI, serta rekam jejak order book di BEI.
Di sisi infrastruktur, tiga SRO — BEI, KPEI, dan KSEI — bekerja sebagai sistem terpadu yang mengatur perdagangan, kliring, hingga penyimpanan efek. Ketiganya menjadi pusat data utama untuk menilai apakah sebuah pergerakan harga masih berada dalam koridor wajar atau mengindikasikan aktivitas yang perlu diselidiki lebih lanjut.
Sejumlah analis menilai bahwa ketimpangan akses informasi menjadi persoalan yang terus berulang. Investor institusi memiliki jaringan analis dan sumber data yang lebih kuat dibandingkan investor ritel. Sementara di tingkat emiten, komunikasi yang kurang komprehensif terkait aksi korporasi sering menimbulkan ruang spekulasi di pasar.
Pengamat pasar modal menilai bahwa volatilitas tidak wajar, aksi korporasi yang tidak disampaikan secara rinci, dan perubahan harga yang terjadi sebelum pengumuman merupakan tiga indikator awal yang lazim digunakan untuk mendeteksi potensi pelanggaran prinsip keterbukaan. Penyidik pasar biasanya memulai penelusuran dari pola transaksi anggota bursa, aliran dana, serta perubahan kepemilikan yang muncul dalam laporan harian KSEI.
Di tengah dinamika tersebut, BEI menekankan bahwa perdagangan diawasi melalui mekanisme auto rejection dan suspensi apabila ditemukan pergerakan ekstrem. Kebijakan itu bertujuan melindungi investor ritel dari potensi perdagangan yang dipicu informasi tidak merata.
Meski demikian, sejumlah kasus yang pernah mencuat menunjukkan bahwa distribusi informasi non-publik masih menjadi tantangan besar. Ketika harga bergerak lebih dulu sebelum pengumuman resmi dirilis, konsekuensinya bisa meluas — mulai dari kerugian investor hingga hilangnya kepercayaan terhadap pasar.
Hingga kini, regulator belum merilis temuan terbaru terkait pola perdagangan yang sedang dianalisis. Namun OJK memastikan proses pemantauan berjalan, termasuk pengambilan data historis perdagangan dan penelusuran transaksi yang berkaitan dengan aksi korporasi tertentu.
Pasar modal, dalam idealnya, bekerja berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesetaraan informasi. Namun dinamika pergerakan harga yang mendahului pengumuman resmi menjadi pengingat bahwa ekosistem tersebut tetap membutuhkan pengawasan ketat. Dalam pasar yang digerakkan data, kecepatan akses informasi sering kali menentukan siapa yang memegang kendali.
---
Oleh: Nurul Hilal Wartawan Bersertifikat Dewan Pers

